Berita terkait perdagangan satwa liar dan satwa dilindungi memang tidak keras terdengar. Meskipun begitu, berita terkait perdagangan satwa yang dilindungi undang-undang masih menghiasi laman pemberitaan di kolom pencaharian setidaknya setiap bulan.

SCENTS tergugah untuk melakukan survey mengenai persebaran perdagangan satwa liar dan dilindungi, khususnya burung, di Kota Pekanbaru, Riau. Selain karena memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi, Indonesia khususnya Pulau Sumatera juga merupakan jalur transit perdagangan satwa liar di Kawasan Asia Tenggara. Pada awal tahun ini, SCENTS berhasil mengidentifikasi 16 pasar burung, 30 kios burung/pet shop, serta 3 rumah pemeliharaan burung (bird-keeping) yang tersebar di 15 kecamatan di Pekanbaru. SCENTS selanjutnya melakukan kunjungan lapangan guna mencari tahu secara langsung jenis satwa liar, asal-usul, serta identifikasi jalur perdagangan domestik dan Internasional yang melalui Pekanbaru.

Pasar Palapa, salah satu pasar burung terbesar di Pekanbaru (Dok. Pribadi)

Jenis burung yang diperjual belikan di sekitar Pekanbaru sangat beragam, mulai dari burung yang biasa digunakan untuk kontes burung berkicau hingga burung yang menarik secara estetika. Burung-burung tersebut berasal dari titipan rekan (titip jual) atau agen langganan, baik dari dalam maupun luar daerah. Setidaknya, terdapat 4 jalur masuk perdagangan burung di Pekanbaru, yaitu melalui jalur: 1. Sumatera Utara (Barumun, Medan, Padang Sidempuan), 2. Sumatera Barat (Pasaman, Solok, Limapuluh Kota, Padang Panjang, Pariaman), 3. Riau (Kampar, Rokan Hilir, Lintas Timur jalur menuju Jambi (Pelalawan dan Pangkalan Kerincin)), 4. Internasional melalui jalur laut (Thailand).

Harga yang dipatok pun beragam tergantung dengan jenis serta tingkat kemampuan berkicau. Sejak Maret 2023, mulai banyak burung kicau dari Thailand yang masuk melalui jalur laut. Burung-burung ini memiliki harga yang jauh lebih murah, seperti jenis Kucica hutan (Copsychus saularis) yang dibandrol dengan harga Rp 900.000,-, sangat signifikan bila dibandingkan dengan burung jenis sama dari pemasok lokal yang dihargai Rp 2.000.000,- per ekor. Harga yang lebih tinggi juga dipatok untuk pembelian burung isian, burung yang telah dilatih untuk memiliki suara tertentu. Beberapa penjualpun menyediakan jasa melatih burung untuk memiliki suara yang lebih merdu (diisi). Bila terdapat pesanan, para penjual juga bersedia untuk mencarikan jenis burung tertentu.

Tiong emas, salah satu jenis burung yang diperdagangkan (Dok. Pribadi)

Meskipun sebagian besar kios menaati regulasi yang berlaku dengan hanya menjual satwa yang boleh diniagakan, Tim SCENTS masih menemukan dijualnya berbagai macam jenis satwa yang dilindungi berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018 serta daftar merah IUCN (International Union for Conservation of Nature). Untuk jenis burung yang dilindungi menurut Undang-undang, Tim SCENTS berhasil mengidentifikasi Paok hujan (Pitta moluccensis), Cica-daun kecil (Chloropsis cyanopogon), Cica-daun besar (Chloropsis sonnerati), Cica-daun sayap biru (Chloropsis cochinchinensis), Serindit melayu (Loriculus galgulus), Tiong emas (Gracula religiosa), Poksai sumatera (Garrulax bicolor), dan Jalak bali (Leucopsar rothschildi).

Kalong besar, satwa dilindungi yang juga diperdagangkan (Dok. Pribadi)

Adapun Cica Daun Kecil juga termasuk dalam daftar burung dengan status rentan menurut IUCN bersama dengan Cica bersisik (Pycnonotus squamatus) yang berhasil dijumpai disalah satu kios untuk diperdagangkan. Sedangkan Cica Daun Besar, Cica Daun Sayap Biru, dan Poksai Sumatera juga tergolong sebagai burung dengan status terancam punah, bersama dengan Empuloh Jenggot (Alophoixus bres) yang juga teridentifikasi di lapangan. Jalak Bali sendiri tergolong sebagai burung dengan status kritis menurut daftar merah IUCN. Selain burung, Tim juga menjumpai penjualan satwa dilindungi lainnya seperti Kucing Kuwung (Prionailurus bengalensis). Kios yang memperjual belikan Kalong Besar (Pteropus vampyrus), Beruk (Macaca nemestrina), dan Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) juga masih dapat dijumpai di Pasar Palapa meskipun ketiganya tergolong sebagai mamalia terancam punah.

Monyet ekor panjang, satwa dilindungi yang juga diperdagangkan (Dok.Pribadi)

Masih adanya minat masyarakat tentunya menjadi salah satu alasan mengapa satwa-satwa ini masih dicari dan diperdagangkan. Ajang perlombaan burung berkicau, khususnya di Pekanbaru juga dapat menjadi penyebab. Ditujukan untuk mewadahi hobi para pecinta burung, hingga saat ini masih dijumpat perlombaan burung berkicau yang mempertandingkan kategori burung yang tergolong sebagai satwa dilindungi. Salah satu perlombaan yang diadakan pada tahun 2020 turut memperlombakan Cucak hijau, istilah komersil untuk Cica-daun kecil, Cica-daun besar, serta Cica-daun sayap biru. Hal ini semakin ironis, sebab acara turut melibatkan pejabat pemerintahan yang seharusnya menjadi contoh masyarakat dalam penegakan hukum.

Para pedagang satwa ini mengetahui bahwa satwa yang mereka perjual belikan tergolong sebagai satwa yang dilindungi. Mereka juga mengerti betul bahwa Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Riau kerap mengadakan razia, khususnya di wilayah Jl. Garuda Sakti. Meskipun begitu, hal ini tidak menghentikan langkah mereka untuk terus melakukan penjualan satwa dilindungi. Selain ‘bermain’ dengan lebih hati-hati, para pedagang juga mematok harga khusus yang dirasa sebanding dengan risiko yang mereka hadapi.

Meskipun begitu, bagaimana sebenarnya hukum yang berlaku di Indonesia?

Perlu diketahui, barangsiapa yang menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa dilindungi baik dalam keadaan hidup atapun mati dapat dituntut hukuman pidana berupa hukuman penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp 100.000.000,- sebagaimana yang tertuang pada Undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya. Ancaman pidana juga berlaku bagi para individu yang lalai atau tidak menyadari sedang melakukan tindak pelanggaran ini, dengan ancaman paling lama satu tahun penjara dan denda paling banyak Rp 50.000.000,- .

Adapun pengecualian dari larangan tersebut hanya berlaku untuk keperluan penelitian, ilmu pengetahuan, dan/atau penyelamatan jenis satwa yang bersangkutan. Pengecualian juga berlaku untuk pengembangbiakan generasi kedua (F2) dan generasi berikutnya dari hasil penangkaran, karena memenuhi syarat sebagai spesimen yang tidak dilindungi sebagaimana yang tercatat pada Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P. 19 Tahun 2015 tentang Penangkatan Tumbuhan dan Satwa Liar. Satwa hasil penangkaran wajib diberi penanda oleh penangkar yang bersifat permanen, baik dalam bentuk tag/cap/transponder/tatoo/label/ataupun pemotongan bagian tubuh lainnya untuk membedakannya dengan satwa yang ditangkap dari alam. Satwa hasil penangkaran juga wajib dilengkapi dengan sertifikat yang memuat kode tanda, nama jenis, kelamin, kode indukan, tanggal dilahirkan/menetas/dibiakkan, tingkat generasi, serta kode/nama penangkar agar dapat dilakukan tracking.

Meskipun begitu, kegiatan penangkaran tidak dapat dilakukan semudah membalikkan telapak tangan. Penangkaran merupakan unit usaha yang hasilnya dapat dijadikan objek atau diperjualbelikan untuk keuntungan komersil. Untuk menjadi penangkar, calon penangkar perlu memenuhi perijinan dengan melengkapi berbagai persyaratan yang ketat, termasuk dokumen asal usul induk hewan dari otoritas terkait. Ijin penangkaran yang telah didapat juga tidak bersifat permanen karena perlu diperpanjang setiap 5 tahun. Selain itu, indukan yang digunakan untuk pengembangbiakan tidak serta merta menjadi milik penangkar. Indukan yang berasal dari habitat alam (W) maupun generasi pertama dari pengembangbiakan hasil penangkaran (F1) berstatus milik negara dan adalah titipan negara, menyebabkan indukan tidak dapat diperjualbelikan dan harus diserahkan kembali kepada Negara bila diminta. Adapun yang tergolong sebagai satwa atau indukan yang berasal dari habitat alam (W) adalah satwa yang berasal dari hasil rampasan, penyerahan masyarakat, atau temuan, yang tidak dapat diketahui asal-usul atau status keturunannya.

Sebagai warga negara yang taat terhadap hukum, kita perlu berhati-hati dan memperhatikan betul setiap langkah yang kita ambil, termasuk dalam penjual-belian satwa. Mari peduli dan laporkan setiap aksi ilegal terhadap satwa liar!

Be a part of SCENTS mission to save beautiful creatures from illegal wildlife trafficking.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *