Penulis: Dwi Nugroho Adhiasto

UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (KSDAE) dianggap perlu direvisi untuk menjawab tantangan konservasi yang terus berkembang dan kompleksitas isu lingkungan saat ini. Berikut beberapa substansi penting yang sering dibahas dalam konteks revisi undang-undang tersebut dan pentingnya untuk mengatasi kekurangan dalam regulasi yang ada:

  1. PENYESUAIAN HUKUMAN BAGI PELANGGAR. RUU ini mengusulkan peningkatan hukuman penjara dan denda bagi para pelaku kejahatan terhadap satwa dan tumbuhan. UU 5 Tahun 1990 sanksi pidana bagi para pelaku kejahatan terhadap satwa dan tumbuhan adalah maksimal 5 tahun dan denda maksimal Rp. 100 juta. Alasan utama dari usulan kenaikan hukuman penjara dan denda ini adalah untuk meningkatkan efek jera. Sebagai gambaran, rata-rata hukuman penjara bagi para pelaku kejahatan terhadap satwa di Indonesia adalah 2.5 tahun. Untuk spesies tertentu (misalnya Harimau Sumatera), hukuman penjara rata-rata bagi para pelaku lebih dari 2.5 tahun, namun untuk jenis-jenis burung atau reptile, hukuman rata-rata para pelaku tidak lebih dari 2 tahun (SCENTS, 2024). Terkait efek jera ini, dibawah ini adalah komponen-komponen yang memberikan kontribusi di dalam memberikan efek jera:

1.1. Adanya kepastian hukum

Kepastian hukum mencakup penerapan hukum yang konsisten, di mana setiap pelanggaran ditangani dengan cara yang serupa, tanpa memandang status atau identitas pelaku. Ini memastikan bahwa semua individu merasa hukum ditegakkan secara adil dan merata. Konsistensi dalam penegakan hukum meningkatkan kepercayaan publik terhadap sistem hukum dan memperkuat efek jera karena individu memahami bahwa tidak ada pengecualian atau perlakuan khusus dalam penegakan hukum. Persepsi tentang ketidakadilan atau penegakan hukum yang tidak konsisten dapat mengurangi efektivitas efek jera, karena individu mungkin merasa bahwa mereka bisa menghindari hukuman atau bahwa sistem hukum tidak dapat diandalkan untuk memberikan keadilan.

Kepastian hukum memberikan gambaran yang jelas tentang apa yang diperbolehkan dan apa yang dilarang, serta hukuman yang akan diterima jika seseorang melanggar hukum. Ketika orang-orang mengerti secara jelas konsekuensi dari tindakan mereka, mereka akan  mempertimbangkan ulang sebelum melakukan tindakan yang melanggar hukum. Ini berakar pada teori dasar efek jera, yaitu pelaku percaya bahwa mereka akan tertangkap dan dihukum dengan hukuman yang signifikan apabila mereka melakukan kejahatan[1]. Sehingga, mereka lebih cenderung menghindari perilaku tersebut.

Kepastian hukum juga berkaitan dengan kecepatan proses hukum. Proses hukum yang cepat dan efisien memastikan bahwa hukuman diberikan segera setelah pelanggaran terjadi, yang memperkuat hubungan antara tindakan dan konsekuensi. Jika ada jeda panjang antara pelanggaran dan hukuman, efek jera dapat berkurang karena kurangnya persepsi langsung tentang risiko hukuman.

1.2. Hukuman penjara

Meskipun ada banyak pemikiran bahwa hukuman penjara yang lama akan memberikan efek jera diyakini banyak pihak di Indonesia, namun hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa efektivitas hukuman penjara sebagai pencegah kejahatan sangat tergantung pada berbagai faktor, termasuk karakter individu, jenis kejahatan, dan apakah hukuman disertai dengan upaya rehabilitasi atau tidak.  

Teori efek jera menyatakan bahwa hukuman yang keras dan panjang akan membuat individu berpikir dua kali sebelum melakukan kejahatan karena takut akan konsekuensinya. Bagi beberapa individu, ini memang bisa efektif, terutama jika mereka memiliki banyak yang dipertaruhkan atau jika mereka sangat memperhitungkan risiko sebelum melakukan tindakan. Namun, seringkali efek jera ini tidak seperti yang diharapkan. Banyak pelaku kejahatan tidak berpikir mereka akan tertangkap, apalagi apabila target (satwa atau tumbuhan dilindungi misalnya) berada di area yang tidak dijaga denga baik, atau tidak adanya konsisten di penegakan hukum (kepastian hukum).

Salah satu ukuran efektivitas hukuman penjara adalah melihat angka residivis (repeated offender), yaitu atau kemungkinan pelaku untuk kembali melakukan kejahatan setelah dibebaskan dari hukuman. Beberapa kasus menunjukkan bahwa hukuman penjara lebih dari 2.5 tahun bagi pedagang kulit harimau tidak memberikan efek jera, sehingga mereka mengulang lagi kejahatannya. Hukuman yang lebih panjang tidak selalu mengurangi kemungkinan residivis. Berkaca dari keterangan seorang residivis di daerah Aceh (Leuser), pelaku mengulang kejahatan karena kurangnya pengawasan terhadap habitat harimau di daerah target.

Hukuman penjara juga dapat memperburuk kondisi sosial dan ekonomi seseorang. Di satu sisi dapat membuat pelaku jera melakukan kejahatan lagi karena beban ekonomi keluaga misalnya, harus ditanggung oleh keluarga lainnya selama pelaku dipenjara, sehingga menimbulkan rasa bersalah yang besar. Hal ini sering terjadi pada pelaku perburuan yang mempunyai taraf hidup pas-pas an.

Efek jera dari hukuman penjara mungkin berbeda tergantung pada jenis kejahatan. Untuk kejahatan yang dilakukan secara impulsif atau tanpa perencanaan, efek jera mungkin lebih rendah karena pelaku tidak mempertimbangkan konsekuensinya dengan baik. Sebaliknya, untuk kejahatan yang memerlukan perencanaan dan pertimbangan risiko, seperti kejahatan satwa yang mempunyai motif bisnis, efek jera mungkin lebih signifikan.

Semakin banyak bukti menunjukkan bahwa pendekatan yang lebih fokus pada rehabilitasi dan reintegrasi pelaku kejahatan ke dalam masyarakat bisa lebih efektif dalam mencegah kejahatan dibandingkan sekedar hukuman penjara yang panjang. Pendekatan rehabilitatif membantu mengatasi akar masalah yang mendorong seseorang melakukan kejahatan, misalnya kekurangan keterampilan sosial dan pekerjaan, sehingga mengurangi kemungkinan mereka untuk kembali melakukan kejahatan.

1.3. Denda

Hukuman denda yang tinggi dapat memiliki potensi untuk menimbulkan efek jera, terutama dalam konteks pelanggaran tertentu dan bagi kelompok demografis tertentu. Di Indonesia, hukuman denda pidana dapat diganti dengan hukuman penjara, sehingga para pelaku yang taraf hidupnya terbatas seringkali memilih untuk mengganti denda dengan tambahan hukuman penjara[2]. Efektivitas denda sebagai sarana pencegahan tergantung pada beberapa faktor, termasuk kemampuan finansial pelaku, jenis kejahatan, dan persepsi pelaku terhadap risiko tertangkap.  Namun, bagi individu atau jaringan pelaku kejahatan terhadap satwa dan tumbuhan yang mempunyai sumber daya finansial besar, denda yang sama mungkin tidak terasa memberatkan dan oleh karena itu, kurang efektif sebagai alat pencegahan.

Efektivitas denda untuk menciptakan efek jera tergantung pada persepsi pelaku terhadap risiko tertangkap. Jika pelaku merasa peluang untuk tertangkap rendah, mereka lebih cenderung mengabaikan potensi denda, tidak peduli seberapa besar, apalagi jika dendanya kecil. Dengan demikian, peningkatan denda pada RUU KSDAE ini juga harus diimbangi dengan upaya pencegahan kejahatan yang ada, sehingga pelaku akan merasa peluangnya kecil untuk melakukan kejahatan dan dapat beresiko tertangkap, terkena hukuman denda yang besar dan akan menggoyahkan ketahanan finansial mereka. Dengan kata lain, peningkatan efektivitas denda harus diiringi dengan peningkatan penegakan hukum dan pemahaman ke masyarakat bahwa ada kepastian hukum bagi pelaku yang melakukan kejahatan.

Denda juga lebih efektif untuk jenis kejahatan tertentu, khususnya di mana keuntungan finansial menjadi motivasi utama, termasuk juga kejahatan terhadap satwa yang motivasinya adalah untuk mencari keuntungan finansial. Pelaku dengan motivasi finansial cenderung melakukan perhitungan risk vs benefit sebelum melakukan tindakan. Denda yang signifikan meningkatkan risiko finansial dari aktivitas ilegal, yang dapat mengubah kalkulasi ini sehingga benefit yang diharapkan tidak lagi layak jika dibandingkan dengan risiko.

            1.4. Konsep rehabilitasi

Memilih pelaku kejahatan terhadap satwa dan tumbuhan yang memungkinkan untuk direhabilitasi memerlukan pendekatan yang cermat dan berbasis kriteria, dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang dapat mempengaruhi kemungkinan keberhasilan rehabilitasi. Proses seleksi ini bertujuan untuk mengidentifikasi individu yang paling mungkin merespon positif terhadap intervensi rehabilitasi, dengan meminimalkan risiko kembali melakukan kejahatan.

Pertama, kita harus memperhatikan jenis dan tingkat keparahan kejahatan terhadap satwa dan tumbuhan yang dilakukan. Pelaku kejahatan ringan seperti berburu dengan senapan angin dengan motif hobby, akan lebih cocok untuk program rehabilitasi dibandingkan dengan pelaku kejahatan berat, seperti perburuan liar yang terorganisir. Pelaku kejahatan ringan seringkali atau belum tentu terikat dengan jaringan kejahatan terorganisir dan lebih terbuka terhadap perubahan perilaku.

Kedua, menilai motivasi di balik tindakan pelaku, termasuk apakah kejahatan terhadap satwa dan tumbuhan ini dilakukan karena kebutuhan ekonomi, ketidaktahuan, atau faktor lain. Pelaku yang tindakannya lebih didorong oleh kebutuhan atau ketidaktahuan mungkin lebih mudah direhabilitasi melalui edukasi dan peluang ekonomi alternatif. Dengan memahami motivasi dapat membantu menentukan jenis intervensi rehabilitasi yang paling efektif.

Ketiga, memeriksa riwayat kriminal pelaku, termasuk apakah ini adalah pelanggaran pertama atau ada pola perilaku kriminal berulang. Individu dengan pelanggaran pertama atau pelanggaran ringan akan lebih cocok untuk rehabilitasi daripada mereka dengan riwayat kriminal panjang dan berulang. Memeriksa riwayat kriminal dapat memperkirakan kemungkinan respons pelaku terhadap intervensi rehabilitasi.

Keempat, proses seleksi untuk rehabilitasi harus melibatkan tim multidisiplin yang antara lain mencakup ahli kriminologi, psikolog, tenaga kerja, dan spesialis konservasi. Proses seleksi yang hanya melibatkan spesialis konservasi dapat memberikan pertimbangan yang keliru karena tidak mempunyai pengetahuan lain yang sangat dibutuhkan. Pendekatan ini memastikan bahwa semua aspek perilaku pelaku dan kemungkinan untuk rehabilitasi dapat dievaluasi secara menyeluruh.

Kelima, mengevaluasi tingkat dukungan sosial yang tersedia untuk pelaku, termasuk keluarga, teman, dan komunitas. Pelaku dengan dukungan sosial yang kuat akan memiliki peluang lebih baik untuk sukses dalam rehabilitasi. Dukungan sosial merupakan faktor penting dalam pencegahan pelaku mengulang perbuatannya (kambuhan) dan mempromosikan integrasi sosial yang sukses.

  • PARTISIPASI MASYARAKAT ADAT. Masyarakat adat dan lokal merupakan penjaga pengetahuan tradisional. Mereka memainkan peran krusial dalam Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (KSDAE) karena mereka memiliki pengetahuan tradisional dan hubungan jangka panjang dengan lingkungan alam dimana mereka tinggal. Masyarakat adat dan lokal seringkali memiliki pengetahuan mendalam tentang ekosistem lokal, termasuk satwa dan tumbuhan, yang diperoleh melalui pengalaman dan tradisi turun-temurun. Pengetahuan ini sangat berharga dalam praktik konservasi, misalnya, dalam mengidentifikasi spesies yang rentan.

Praktik tradisional yang diterapkan masyarakat adat dan lokal sering kali didasarkan pada prinsip keberlanjutan dan penggunaan sumber daya alam secara bijaksana, yang dapat mengajarkan metode konservasi modern tentang cara mengelola sumber daya secara efektif tanpa merusak lingkungan. Melibatkan masyarakat adat dan lokal dalam proses pengambilan keputusan dan perencanaan manajemen konservasi akan memastikan bahwa pendekatan yang diambil sesuai dengan kebutuhan dan keinginan mereka, serta meningkatkan peluang keberhasilan dan penerimaan inisiatif konservasi.

Masyarakat adat dan lokal dapat berperan aktif dalam pemantauan kondisi lingkungan dan melaporkan aktivitas ilegal, seperti perburuan liar atau penebangan hutan. Dengan pengetahuan lokal mereka, mereka bisa menjadi mata dan telinga di lapangan, membantu penegakan hukum dan upaya konservasi. Mereka juga dapat berperan aktif dalam pemantauan kondisi lingkungan dan melaporkan aktivitas ilegal, seperti perburuan liar atau kerusakan hutan.

Kemitraan di dalam kegiatan penelitian antara peneliti dan masyarakat adat dan lokal dapat memperkaya pemahaman ilmiah tentang ekosistem dan spesies, menggabungkan pengetahuan tradisional dengan metodologi ilmiah modern untuk memperoleh wawasan baru dan pendekatan inovatif dalam konservasi. Mereka juga dapat berkontribusi pada peningkatan kesadaran dan pendidikan lingkungan dalam komunitas yang lebih luas, berbagi pengetahuan tentang pentingnya konservasi dan praktik berkelanjutan.

  • PERLINDUNGAN LEBIH LUAS UNTUK SPESIES. Revisi UU KSDAE diharapkan bisa memperluas definisi dan kategori perlindungan untuk mencakup lebih banyak spesies yang terancam dan habitatnya, termasuk spesies yang belum terdaftar secara resmi tetapi diketahui memerlukan perlindungan.

4.1. Kategorisasi spesies dilindungi.

Terkait dengan Pengawetan jenis Tumbuhan dan Satwa, menurut pemerintah, sebaiknya tidak ada perubahan di dalam penggolongannya, yaitu tumbuhan dan satwa yang dilindungi dan tumbuhan dan satwa yang tidak dilindungi. Usulan penggolongan menjadi 3 kategori berdasarkan referensi dari CITES (Appendix I, II, III) dianggap tidak sesuai substansi penggolongannya, karena penggolongan CITES ini tujuannya untuk kebutuhan perlindungan jenis tumbuhan dan satwa dari perdagangan internasional. Sedangkan penggolongan tumbuhan dan satwa oleh pemerintah Indonesia adalah untuk kepentingan perlindungan dan pengawetan.

Usulan dari pemerintah untuk tetap melakukan penggolongan satwa dan tumbuhan kedalam jenis dilindungi dan tidak dilindungi ini berbeda dengan usulan DPR.  Berdasarkan revisi Pasal 20 ayat 3 pada Bab IV tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa), DPR mengusulkan 3 kategori perlindungan tumbuhan dan satwa di Indonesia, yaitu Jenis Tumbuhan dan Satwa Kategori I, II, dan III. Kategori I adalah Jenis Tumbuhan dan Satwa yang dilindungi secara ketat dan/atau dilindungi penuh. Kategori II adalah Jenis Tumbuhan dan Satwa yang dilindungi terbatas dan/atau pemanfaatannya dikendalikan. Kategori III adalah Jenis Tumbuhan dan Satwa yang pemanfaatannya dipantau. Untuk Jenis Tumbuhan dan Satwa yang tidak masuk dalam Kategori I, II, dan III maka pemanfaatannya dilakukan melalui perjanjian bilateral. Hal ini merujuk pada pemanfaatan spesies non-native yang berasal dari negara lain, dimana perjanjian bilateral yang dimaksud tentunya harus mempertimbangkan konvensi-konvensi internasional seperti IUCN Red List, CITES, atau Konvensi tentang Migratory Species, untuk memastikan bahwa pemanfaatannya tidak melanggar peraturan yang ada di negara asal dan konvensi yang diratifikasi oleh Indonesia.

Pengkategorian satwa dilindungi menjadi lebih detail, misalnya berdasarkan jumlah populasi di alam dan tingkat ancaman memungkinkan para ilmuwan, konservasionis, dan pembuat kebijakan untuk menentukan prioritas upaya konservasi. Spesies yang jumlah populasinya sangat rendah dan menghadapi ancaman tinggi perlu mendapatkan perhatian dan sumber daya lebih banyak dibandingkan spesies yang relatif lebih stabil. Hal ini berdasarkan prinsip efisiensi penggunaan sumber daya yang terbatas. Dengan memfokuskan upaya pada spesies yang paling terancam, kemungkinan keberhasilan konservasi meningkat, sehingga menghindarkan kepunahan spesies. Pengkategorian lebih detail juga memungkinkan pengembangan strategi konservasi yang lebih tepat sasaran. Misalnya, spesies yang populasi nya terancam oleh kehilangan habitat akan membutuhkan strategi konservasi yang berbeda dari spesies yang terancam oleh perdagangan ilegal. Selain itu, kategorisasi yang lebih detail dan spesifik dapat meningkatkan kesadaran publik tentang status konservasi spesies tertentu dan urgensi perlindungannya.

4.2. Perlindungan Non-native spesies.

Pada DIM 248, Pasal 21 ayat 1, terdapat usulan perubahan substansi. “Tumbuhan dan Sarwa yang berasal dari luar negeri yang statusnya dilindungi sesuai ketentuan internasional yang masuk ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia statusnya digologkan menjadi jenis dilindungi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) huruf a”.

Dengan melindungi spesies yang sudah dilindungi di negara asalnya, Indonesia berkontribusi pada upaya konservasi global. Ini menunjukkan komitmen terhadap pelestarian keanekaragaman hayati di tingkat internasional. Selain itu, banyak spesies melakukan migrasi atau memiliki habitat yang melintasi batas negara, sehingga perlindungan di satu negara saja tidak cukup untuk menjaga kelangsungan spesies tersebut. Status perlindungan di Indonesia untuk spesies yang dilindungi di luar negeri akan memperkuat hukum dan kerjasama internasional dalam pemberantasan perdagangan ilegal spesies terancam punah. Hal ini menciptakan basis hukum yang lebih kuat untuk penegakan hukum dan dapat memfasilitasi kerja sama lintas negara dalam menangani perdagangan ilegal dan masalah konservasi lainnya.

Melindungi spesies yang dilindungi di negara lain dengan memberikan status perlindungan yang serupa di Indonesia juga memiliki peran penting dalam mencegah praktek pencucian (laundering) satwa liar. Pencucian satwa liar dalam kasus ini adah tindakan mengimpor atau mengekspor satwa liar secara ilegal, kemudian ‘membersihkannya’ di negara tujuan yang tidak mempunyai peraturan perlindungan spesies yang dilindungi di negara asalnya. Indonesia selama bertahun-tahun menjadi contoh pencucian gading Gajah Afrika, dimana tidak ada peraturan di Indonesia yang melindungi spesies ini. Ketika gading ini masuk secara ilegal (diselundupkan) ke Indonesia dan dipasarkan di pasar tertutup atau terbuka, aparat penegak tidak dapat melakukan tindakan apapun karena dasar hukum melakukan upaya penegakan hukum mengacu pada UU No. 5 Tahun 1990 dan daftar satwa dan tumbuhan dilindungi di Indonesia.  

  • PENINGKATAN KAPASITAS DAN WEWENANG APARAT PENEGAK HUKUM. Revisi UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (KSDAE) yang merujuk pada peningkatan kapasitas dan wewenang aparat penegak hukum mencakup beberapa aspek utama dalam rangka peningkatan kapasitas dan wewenang aparat penegak hukum. Tujuan utamanya adalah memperkuat upaya penegakan hukum dalam konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistem, mengingat tantangan yang semakin kompleks dan beragam.  RUU diharapkan dapat memberikan wewenang lebih luas kepada aparat penegak hukum untuk melakukan investigasi, termasuk penyadapan, pengawasan, dan penggunaan teknologi canggih dalam pengumpulan bukti. Penguasaan dan penggunaan berbagai teknik investigatif ini diharapkan dapat memudahkan deteksi dan penindakan terhadap kejahatan konservasi, termasuk perdagangan ilegal spesies dilindungi dan perusakan habitat.

RUU ini diharapkan dapat memberikan perlindungan bagi penegak hukum, dalam hal menyediakan perlindungan hukum dan fisik bagi aparat penegak hukum yang berhadapan dengan resiko tinggi dalam menjalankan tugasnya. Tujuannya adalah memastikan keamanan dan keselamatan aparat penegak hukum, sehingga mereka dapat bekerja tanpa rasa takut akan intimidasi atau balas dendam dari pihak-pihak yang mereka lawan.

Di dalam RUU juga menyangkut tentang kebutuhan untuk memperkuat koordinasi dan kerjasama antar lembaga penegak hukum baik di tingkat nasional maupun internasional, termasuk dengan lembaga-lembaga seperti Kepolisian, Kejaksaan, KLHK, serta organisasi internasional. Saat ini, kejahatan terhadap sumber daya alam sering kali kompleks dan lintas batas, melibatkan jaringan perdagangan ilegal yang tidak hanya beroperasi dalam satu negara tetapi juga secara internasional. Kerjasama antar lembaga memungkinkan pihak berwenang untuk berbagi informasi intelijen, memanfaatkan sumber daya masing-masing pihak, dan meningkatkan efektivitas operasi lintas negara. Kerjasama yang efektif dan terbuka antar lembaga, termasuk keterlibatan dengan organisasi internasional, dan transparansi di dalam kerjasamanya dapat membantu membangun kepercayaan publik. Ini juga menunjukkan komitmen global dan nasional yang kuat terhadap perlindungan lingkungan.

Kejahatan lingkungan juga menyangkut lebih dari satu aspek hukum atau wilayah yurisdiksi, sehingga kerjasama yang baik antarlembaga dapat memastikan respons yang terkoordinasi dan menyeluruh, menghindari tumpang tindih, mengatasi hambatan yurisdiksi, harmonisasi regulasi yang ada, dan memastikan penggunaan sumber daya yang efisien.

  • PENGETATAN REGULASI PERDAGANGAN SATWA DAN TUMBUHAN. Di dalam revisi akan diperketat prosedur perizinan untuk perdagangan tumbuhan dan satwa, baik untuk tujuan komersial maupun non-komersial, untuk memastikan bahwa hanya individu atau entitas yang memenuhi syarat dan bertanggung jawab yang dapat melakukan perdagangan. Juga dibahas tentang peningkatan kontrol terhadap perdagangan spesies yang dilindungi, termasuk aspek legalitas asal-usul spesies (supply chain security). Pengetatan tentang asal-usul tumbuhan dan satwa yang diperdagangkan dilakukan untuk memastikan bahwa mereka berasal dari sumber yang berkelanjutan dan legal, termasuk di dalamnya adalah penerapan sistem sertifikasi dan pelabelan yang dapat diverifikasi.

Terkait perdagangan internasional, RUU ini juga akan memastikan bahwa regulasi perdagangan satwa dan tumbuhan selaras dengan CITES, yang mengatur perdagangan legal internasional dan bertujuan supaya perdagangan satwa dan tumbuhan tidak mengancam populasinya. Kegiatan ekspor dan impor semua komoditas ekspor di Indonesia telah dinaungi ke dalam satu sistem yang  terintegrasi dan didukung oleh pengurusan perijinan satu atap, yaitu INSW (Indonesian National Single Window)[3]. Ini merupakan sistem layanan publik yang terintegrasi, yang menyediakan fasilitas pengajuan, pertukaran dan pemrosesan informasi standar secara elektronik, guna menyelesaikan semua proses kegiatan dalam penanganan lalu lintas barang ekspor dan impor. Perijinan dari KLHK tentang ekspor-impor satwa dan tumbuhan juga telah masuk dalam INSW. CITES telah dimasukkan dalam sistem perijinan satu atap, sehingga CITES telah dikenal oleh karantina dan Bea Cukai sebagai salah satu parameter prasyarat larangan dan pembatasan. Namun, perijinan CITES di tingkat tapak (di internal KLHK) masih dilakukan secara manual. Di era digitalisasi dimana teknologi memudahkan verifikasi dokumen dan percepatan pengurusan perijinan, sistem manual yang masih diterapkan oleh KLHK ini selain tidak efisien juga rawan praktek-praktek penyimpangan.

Revisi UU menyoroti tentang penguatan keterlibatan masyarakat dalam pengawasan dan pelaporan aktivitas perdagangan ilegal tumbuhan dan satwa. Ini termasuk pembangunan kapasitas masyarakat dan organisasi sipil untuk turut serta dalam upaya konservasi. Hal ini dapat dilakukan dengan beberapa langkah penting, antara lain dengan menyediakan informasi tentang cara mengenali tindakan perdagangan ilegal dan pentingnya melaporkannya kepada otoritas yang berwenang. Menyelenggarakan pelatihan untuk masyarakat dan kelompok masyarakat  tentang cara efektif dalam memantau dan melaporkan kegiatan ilegal, diantaranya melalui penggunaan teknologi seperti aplikasi mobile untuk pelaporan.

Perlu dipikirkan juga program insentif bagi atau penghargaan bagi individu atau kelompok yang berhasil membantu mengungkap kasus perdagangan ilegal, sebagai motivasi untuk partisipasi aktif. Berbarengan dengan itu, pemerintah juga perlu menjamin perlindungan bagi whistleblower atau pelapor untuk mengurangi rasa takut terhadap kemungkinan balas dendam.

  • SPESIES INVASIVE (DIM 503). Pada (BAB XII tentang Larangan), Pasal 46 Ayat 1 huruf c, nomor DPR mengusulkan bahwa “Orang perseorangan dan Korporasi dilarang menambah jenis lain yang tidak asli di kawasan konservasi”. Tentunya Pasal 46 Ayat 1 huruf c ini terkait dengan bahaya masuknya spesies invasif. Spesies invasif menimbulkan risiko signifikan terhadap ekosistem asli dengan mengalahkan tumbuhan atau satwa asli dalam memperebutkan sumber daya, yang pada akhirnya akan mengakibatkan berkurangnya biodiversitas. Spesies invasif dapat mengubah struktur habitat, siklus nutrisi, dan jaringan makanan, sering kali menyebabkan kerugian ekonomi bagi manusia, seperti meledaknya populasi ikan red devil di perairan Danau Toba yang mengurangi populasi ikan komersial. Penyebaran spesies invasif difasilitasi oleh aktivitas manusia seperti perdagangan, pemeliharaan, atau perjalanan.

Meskipun sekilas ayat 1 huruf c ini memberikan perlindungan kepada kawasan konservasi dari ancaman spesies invasive, namun penyebaran spesies invasive ini tidak selalu harus dibawa oleh manusia. Penyebaran spesies invasive ini juga dapat dilakukan manusia diluar kawasan konservasi, namun dapat merambah masuk ke dalam kawasan konservasi, terutama jenis-jenis yang mempunyai mobilitas tinggi (misalnya ikan), kemampuan adaptasi dan bertahan hidup yang tinggi (misalnya Monyet ekor panjang), atau jenis-jenis yang dibantu oleh faktor alam penyebarannya (misalnya oleh air atau udara). Oleh karena itu, perhatian pemerintah tidak hanya difokuskan pada ‘dimana’ pelarangan perorangan atau korporasi melakukan penambahan jenis, melainkan upaya-upaya pencegahan dan pemantauan ketat terhadap peredaran, perdagangan, pemeliharaan, pemanfataan, dan transportasi spesies invasif. Upaya ini harus dibarengi dengan adanya sanksi tegas terhadap para pelanggar, serta melakukan sosialisasi kepada perorangan dan korporasi mengenai petunjuk atau SOP penanganan spesies invasif, termasuk pengendalian dan eradikasinya.

  • DEFINISI SATWA LIAR. Menurut Usher, M.B (1986) adalah: Wildlife refers to undomesticated animal species, but has come to include all organisms that grow or live wild in an area without being introduced by humans[4]. Definisi yang menunjukkan ketiadaan intervensi manusia inilah yang menunjukkan karakter kuat dari wildlife. Hal ini berbeda sekali dengan terminologi wildlife di dalam UU No 5 yang menyatakan bahwa suatu satwa yang dipelihara oleh orang tapi masih memiliki sifat liar tetap didefinisikan sebagai satwa liar. Selain itu, sifat liar itu sendiri tidak didefinisikan dengan jelas seperti apa, sehingga menimbulkan interprestasi yang berbeda. Tidak berubahnya definisi satwa liar di dalam revisi UU ini juga menunjukkan isu pemanfaatan satwa liar yang diperoleh dari alam untuk pemeliharaan di Indonesia masih kuat, sehingga memberikan batasan yang lebih detail pada terminologi satwa liar dikuatirkan akan mempersulit peluang perorangan atau korporasi di dalam melakukan pemeliharaaan satwa yang diambil dari alam.
  • INTEGRASI DAN AKSESIBILITAS DATA DAN INFORMASI. Revisi UU KSDAE yang menyangkut tentang peningkatan integrasi dan aksesibilitas data dan informasi terkait konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistem bertujuan untuk menciptakan sistem informasi yang komprehensif, terpadu, dan mudah diakses. Angin segar dari revisi ini adalah mendorong akses terbuka tentang data konservasi bagi berbagai pemangku kepentingan, termasuk lembaga pemerintah, peneliti, praktisi konservasi, dan masyarakat umum, untuk mendukung partisipasi masyarakat dalam upaya konservasi. Termasuk di dalamnya adalah mengembangkan platform digital yang memungkinkan masyarakat umum untuk berkontribusi pada pengumpulan data, misalnya melalui aplikasi citizen science. Selama ini beberapa petinggi KLHK berkali-kali menyatakan bahwa satwa dan tumbuhan adalah milik negara/state, dimana konotasi dari pernyataan tersebut adalah semua data dan informasi terkait biodiversitas adalah milik pemerintah dan harus diserahkan ke pemerintah. Padahal, unsur dari state adalah pemerintah dan rakyat/masyarakat. Artinya, masyarakat bisa memiliki dan menggunakan data atau informasi yang dikumpulkan secara independen.

Revisi ini diharapkan juga akan mendorong pengembangan dan penerapan sistem informasi konservasi terpadu yang mengintegrasikan data dari berbagai sumber, termasuk data tentang biodiversitas, habitat, ancaman, serta aktivitas konservasi dan penegakan hukum. Tidak kalah penting juga adalah penetapan standar untuk pengumpulan, penyimpanan, dan pertukaran data konservasi untuk memastikan kualitas, ketepatan, dan kemudahan akses data. Untuk mencapai tujuan ini maka diperlukan peningkatan kapasitas institusi dan individu terkait dengan manajemen data konservasi, termasuk pelatihan dalam pengumpulan data, analisis, dan interpretasi. Selain itu juga menyediakan sumber daya dan pelatihan untuk memastikan bahwa semua pemangku kepentingan dapat menggunakan dan berkontribusi pada sistem informasi konservasi.


[1] https://nij.ojp.gov/topics/articles/five-things-about-deterrence

[2] Berdasarkan Pasal 30 ayat 2 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), jika pidana denda tidak dibayar, maka ia diganti dengan pidana kurungan.

[3] https://insw.go.id/

[4] Usher, M. B. (1986). Wildlife conservation evaluation: attributes, criteria and values. London, New York: Chapman & HallISBN 978-94-010-8315-7

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *