Babirusa Maluku (Babyrousa babyrussa) juga dikenal sebagai Babirusa tualangio oleh masyarakat setempat. Satwa ini memiliki rambut yang lebih tebal dan panjang dibandingkan jenis babirusa lainnya. Selain itu, taring pada rahang atas individu jantan lebih pendek dan ramping serta bersilang dengan taring rahang bawah di sisi mulut. Ciri khas dari satwa ini adalah jumbai pada bagian ekor yang jelas lebih jelas dibandingkan Babirusa Sulawesi (B. celebensis) dan Babirusa Togean (B. togeanesis). Babyrousa spp. termasuk dalam Apendiks I CITES, artinya spesimennya dilarang untuk diperdagangkan baik dalam bentuk hidup dan atau mati dan atau bagian-bagian serta produk turunannya. Sedangkan menurut IUCN Red List, Babirusa Maluku termasuk dalam kategori rentan (Vurnerable) dengan tren populasi yang terus mengalami penurunan. Di Indonesia sendiri, satwa tersebut termasuk dalam daftar satwa yang dilindungi.

Pulau buru sebagai habitat babirusa

Tengkorak dan tulang belulang Babirusa Maluku yang ditemukan di Pulau Buru (Dok. BKSDA Maluku).

Sebaran Babirusa Maluku teridentifikasi meliputi Kepulauan Sula (Pulau Mangole), Pulau Taliabu, serta Pulau Buru. Keberadaannya di Pulau Buru pertamakali terkonfirmasi dari temuan tengkorak babirusa pada tahun 1997. Tengkorak tersebut berasal dari seorang pemburu di sekitar Gunung Kapalatmada, Pulau Buru. Survey yang dilakukan sejak tahun 1995 belum pernah menemukan Babirusa Maluku secara langsung kecuali jejak serta tengkorak tersebut. Bahkan dalam survei intensif BKSDA Maluku di kawasan konservasi pada tahun 2011-2013, tidak menemukan bukti temuan secara langsung. Hal tersebut membuat keberadaan babirusa di Pulau Buru sering dianggap mitos. Satwa ini juga senang mengisolasi diri pada daerah dataran tinggi sehingga semakin sulit untuk dijumpai.

Pada November 2019, tim BKSDA Maluku yang sedang melakukan patroli menemukan tengkorak dan tulang belulang babirusa di kawasan Suaka Alam Masbait. Patroli tersebut berawal dari informasi masyarakat setempat mengenai perjumpaan babirusa di kawasan pegunungan tersebut. Selain itu, terdapat mitos setempat bahwa babirusa akan muncul untuk menunjukkan jalan keluar bagi orang yang tersesat di dalam hutan juga memperkuat informasi Pulau Buru sebagai habitat Babirusa secara tidak langsung. Hal tersebut menjadikan BKSDA Maluku berupaya untuk mendapatkan bukti langsung keberadaan babirusa di Pulau Buru.

Terekam kamera jebak

Upaya penelitian mengenai keberadaan Babirusa Maluku di Pulau Buru terus berlanjut dan mendapat dukungan dari Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati – Ditjen KSDAE melalui Project EPASS (Enhancing the Protected Area System in Sulawesi for Biodiversity Conservation) Tahun 2020, dengan menghibahkan peralatan survei berupa 20 buah kamera jebak dan 1 buah GPS kepada Balai KSDA Maluku. Akhirnya kamera jebak yang dipasang membuahkan hasil, wujud asli Babirusa Maluku di Pulau Buru berhasil direkam dalam kondisi hidup untuk pertama kalinya.

Babirusa Maluku yang terekam kamera jebak (Dok. BKSDA Maluku).

BKSDA Maluku memasang sebanyak 10 kamera jebak pada 7 lokasi yang berbeda sejak April hingga Juni 2021. Lokasi pemasangan ini disesuaikan pada area lintasan satwa yaitu area berkubang atau bermain satwa, tempat menggaram (saltlicks), maupun tempat mencari pakan. Dari seluruh kamera tersebut, 9 kamera jebak berhasil menangkap keberadaan Babirusa Maluku. Hal tersebut tentu saja menjadi kabar gembira sekaligus membuktikan bahwa keberadaan satwa tersebut di Pulau Buru bukan hanya sekedar mitos. Selanjutnya akan dilakukan program kegiatan konservasi babirusa serta penelitian lanjutan mengenai populasi serta habitat dan ekologinya. Selain itu, survey juga akan dilakukan pada habitat lainnya seperti Pulau Mangole dan Pulau Taliabu untuk membuktikan keberadaan Babirusa Maluku.

Kamera jebak yang dipasang oleh Balai KSDA Maluku juga menangkap beberapa gambar jenis satwa lain seperti Gosong Maluku (Eulopia wallacei), Burung Arika (Gallicrex cinerea), Gosong Kelam (Megaphodius freycinet buruensis), Musang/Rase (Viverra tangalunga), Biawak (Varanus salvatori), Rusa Timor (Rusa timorensis), dan Babi Hutan Sulawesi (Sus celebensis).

Sumber :

Be a part of SCENTS mission to save beautiful creatures from illegal wildlife trafficking

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *