Sebagai negara mega-biodiversity, Indonesia memiliki kekayaan keanekaragaman hayati dengan tingkat endemisitas yang tinggi. Meski beberapa jenis asli Indonesia sudah dilindungi oleh undang-undang namun itu hanya sebagain kecil dari seluruh kekayaan hayati yang ada di Indonesia. Masih sangat banyak jenis tanaman dan satwa liar yang belum masuk dalam daftar jenis yang dilindungi, sehingga perdagangan dan perburuannya menjadi tidak bisa terkontrol. Hal ini tentu menjadi salah satu ancaman untuk kelestarian keanekaragaman hayati yang ada di Indonesia. Oleh karena itu perlu adanya regulasi yang tepat dalam rangka pemanfaatan, perlindungan, serta pengendalian tumbuhan dan satwa liar (TSL) yang tidak dilindungi.
Pada hari Selasa (22 Desember 2020), SCENTS berkesempatan ikut serta dalam diskusi daring yang diselenggarakan oleh Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Jawa Tengah. Dalam diskusi ini, Dwi N. Adhiasto (Direktur SCENTS) dipercaya menjadi salah satu narasumber terkait perkembangan perdagangan satwa liar di Indonesia. Peserta diskusi berasal dari berbagai pihak mulai dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA), Akademisi, serta Dinas Lingkungan Hidup dari berbagai daerah. Selain Dwi N. Adhiasto, narasumber lainnya yaitu Sri Ratnaningsih (Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) yang menyampaikan materi terkait kebijakan perlindungan, pengendalian, dan pemanfaatan TSL tidak dilindungi serta tidak masuk Appendix CITES. Menurut Sri Ratnaningsih, pengelolaan dan pemanfaatan TSL diatur menurut UU No 5 Tahun 1990 dan UU No 23 Tahun 2014. Secara internasional status konservasi TSL mengacu pada CITES dan IUCN. Dalam paparannya, Sri juga menyampaikan bahwa Indonesia masih memiliki potensi yang besar terkait penemuan jenis-jenis baru. Namun juga terdapat ancaman yang berasal dari jenis asing invasif, sehingga perlu adanya upaya penanganan baik memusnahkan maupun mengelola populasinya.
Dalam materinya, Dwi menyampaikan mengenai tren perburuan dan perdagangan satwa liar yang masih tinggi. Data tersebut diperoleh dari riset referensi (Desk research) maupun pemantauan secara langsung (Field survey) yang dilakukan SCENTS di pasar-pasar hewan. Hewan yang dijual di pasar hewan sebagian besar jenis tidak dilindungi dan merupakan hasil tangkapan di alam dalam jumlah yang massif. Namun tetap dibutuhkan suatu regulasi untuk mengatur perdagangan hewan ini karena aktivitas perburuan dan perdagangan yang masif akan berdampak besar terhadap populasi suatu jenis di alam. Sebagai contohnya burung Gelatik Jawa yang populasinya pernah melimpah sampai dianggap sebagai hama, kini sangat sulit menjumpainya dialam. Menariknya, hasil perkembangbiakan (breeding) yang dilakukan para peternak burung sangat berhasil. Keberhasilan tersebut bisa menjadi salah satu solusi alternatif untuk meningkatkan populasinya dialam. Seperti halnya keberhasilan penangkaran pada burung Jalak Bali.
Dalam paparan akhir materinya Dwi juga menyampaiakn rencana tidak lanjut antara lain dengan meningkatkan proteksi kawasan lindung, melakukan survey berkelanjutan di pasar burung dan pasar hewan, meningkatkan koordinasi antar Stakeholder terkait serta meningkatkan pengetahuan dan peran aktif masyarakat dalam perlindungan satwa liar. Patroli pemantauan satwa liar perlu melibatkan kelompok masyarakat untuk meningkatkan rasa kepemilikan akan kekayaan hayati yang dimiliki sehingga perburuan dari dalam maupun luar daerah dapat ditekan. Selain itu, mitigasi konflik satwa liar yang dilakukan harus melibatkan anggota yang siap setiap waktu untuk terjun kelapangan sehingga konflik yang terjadi dapat segera tertangani secara optimal.
Be a part of SCENTS mission to save beautiful creatures from illegal wildlife trafficking.